Monday, September 20, 2010

teori islam liberal dari JARINGAN ISLAM LIBERAL INDONESIA

Teori evolusi dan seleksi alam tak hanya dipakai untuk menjelaskan
asal-usul jagat raya, keberadaan Bumi, dan kompleksitas makhluk hidup,
tapi juga menjelaskan sejarah dan perkembangan agama. Jika Dawkins
menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan bahwa alam raya dan seluruh
isinya merupakan proses panjang yang terus-menerus, Daniel Dennett
menggunakan kerangka evolusi untuk menjelaskan keberadaan agama. Yang
menjadi perhatian Dennett bukanlah keberadaan Tuhan, tapi keberadaan
agama sebagai lembaga yang bertanggungjawab menciptakan konsep-konsep
gaib, termasuk Tuhan. Sebagai seorang Darwinian sejati, Dennett
menganggap bahwa agama yang dipeluk manusia sekarang ini merupakan
bentuk evolusi terkini dari agama-agama primitif yang pernah ada.

Dennet tentu saja bukan orang pertama yang menganggap agama sebagai
produk manusia (bukan Tuhan). Dua setengah abad sebelumnya, David Hume
pernah melontarkan gagasan serupa dalam dua buah bukunya: The Natural History of Religion (1757) dan Dialogues Concerning Natural Religion (1779).
Hume menyimpulkan bahwa agama-agama monoteis (Yahudi, Kristen, Islam,
dll) merupakan hasil evolusi panjang dari keyakinan politeisme yang
sangat tua. Hume menganggap politeisme sebagai agama paling primitif
yang pernah dikenal manusia.

Menurut Dennett agama bukanlah artefak atau produk hasil aktivitas
intelektual manusia. Agama merupakan fenomena alam yang berkembang dan
menular bukan lewat gen,tapi lewat bahasa dan simbol. Seseorang bisa
mewarisi bentuk hidung atau talenta musik dari orang tuanya, lewat gen;
tapi jika dia beragama yang sama dengan orang tuanya, dia memperolehnya
bukan lewat gen, tapi lewat bahasa dan asuhan yang diberikan kepadanya.
Agama adalah fenomena yang muncul dalam alam (natural) dan bukan dari
luar alam (supernatural). Dennett tidak terlalu peduli apakah Tuhan ada
atau tidak, karena keberadaannya atau ketiadaannya tidak mengganggu
status agama sebagai fenomena alam. Tuhan adalah sesuatu yang
supernatural, tapi agama adalah sesuatu yang natural. Kita tak bisa
membicarakan Tuhan secara ilmiah (scientific), tapi bisa melakukannya
kepada agama. Hanya sesuatu yang alamiah yang bisa dibuktikan secara
ilmiah. Dengan proposisi ini, Dennett ingin mengatakan bahwa
mempelajari agama secara ilmiah adalah mungkin. Ilmu pengetahuan modern
dengan segala disiplinnya mampu menjelaskan fenomena agama. Ada ilmu
sejarah, arkeologi, sosiologi, ekonomi, hingga psikologi yang mampu
mengungkap dimensi-dimensi terdalam perilaku keberagamaan manusia.

Agama tidak datang sekali jadi, tapi berevolusi, sesuai dengan
tingkat kecerdasan manusia. Peradaban manusia berkembang, begitu juga
agama. Pada masa silam, ketika manusia masih primitif, bentuk agama
juga sangat primitif. Bahasa lebih dulu dikenal manusia ketimbang
agama. Ketika manusia modern (homo sapient) pertama kali muncul sekitar
195.000 tahun silam, mereka menggunakan bahasa sangat sederhana untuk
berkomunikasi. Dengan kosakata yang terbatas, agama adalah sebuah
kemewahan. Agama muncul jauh setelah manusia mengembangkan sistem
berbahasa yang kompleks. Bukti-bukti arkeologi paling awal menyebutkan
bahwa “praktik agama†tertua baru terjadi sekitar 25,000 tahun silam.
Data ini diambil berdasarkan temuan situs makam Cro-Magnon di Ceko.
Agama yang dipraktikkan pada masa ini tentu sangat sederhana dan
umumnya hanya terkait dengan upacara penguburan mayat.

Seperti juga peradaban, agama memiliki usia; ada yang bertahan lama dan
ada yang sebentar. Menurut Dennett, bertahan tidaknya agama sama
seperti spesies pada makhluk hidup, yakni sejauh mana ia bisa bertahan
menghadapi proses seleksi alam yang brutal. “Setiap hari ada dua atau
tiga agama yang muncul,†tulis Dennett, “tapi lifespan mereka tak
sampai satu dekade.†Ada agama yang berusia ribuan tahun, tapi ada yang
hanya belasan tahun. Seleksi alam menentukan hidup-matinya mereka.
Agama Mesir kuno bertahan lebih dari 2000 tahun, tapi kemudian punah
tanpa bekas. Tradisi Yahudi sudah ada sejak 2500 tahun silam, tapi
karakter agama ini sudah sangat berbeda dari pertama kali ia muncul.
Agama berevolusi dan bertarung terus untuk memperjuangkan siapa yang
paling pas (struggle of the fittest). Agama yang tidak cocok dengan
perubahan zaman akan tergilas dan mati; yang cocok akan menang dan
terus hidup.

Jika teori evolusi itu benar, apakah agama-agama besar seperti Islam
dan Kristen bisa bertahan menghadapi gempuran zaman dan peradaban baru?
Apakah mungkin agama dengan pengikut lebih dari satu milyar bisa hilang
ditelan bumi? Para agamawan pun biasanya menolak kemungkinan kepunahan
agamanya. Mereka beragumen bahwa agama yang dipeluknya adalah agama
universal yang tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas. Maka
ketegangan antara agama(wan) dan saint(is) pun tak bisa dihindari. Jika
kaum agamawan mengutip ayat suci, maka para saintis menjelaskan dari
sudut ilmu pengetahuan. Bagaimana menjelaskan ketegangan ini secara
metodologis dan dari sudut filsafat ilmu?
ANTARA PERKARA YANG DAPAT DIPERHATIKAN DAN DIHAYATI,
mereka menyatakan bahawa agama itu berevolusi,
maksudnya dizaman ini begini,
kemudian begini,
maksudnya agama bebas berubah sesuka hati?
agama hak manusia yang hakiki?

tapi bukankah telah ada janji.....
ayat alquran dipelihara sehingga kiamat?
tidak berubah dan kekal
menjadi petunjuk sepanjang zaman?

agama di kaca mata manusia tidak pernah sempurna
jika kajian yang dijalankannya berdasarkan ilmu cetek dan logik semata


JEBAT DERHAKA

No comments:

Post a Comment